Senin, 20 April 2015

Tugas Softskill Akuntansi Internasional-Tingginya Biaya Produksi

BIAYA PRODUKSI
Biaya produksi merupakan biaya-biaya yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi biaya bahan baku (BBB), biaya tenaga kerja langsung (BTKL), dan biaya overhead pabrik (BOP) yang jumlahnya lebih besar dibanding dengan jenis biaya yang lain. Biaya produksi membentuk harga pokok produksi yang digunakan untuk menghitung harga pokok produk jadi dan harga pokok produk pada akhir periode akuntansi yang masih dalam proses (Barang Dalam Proses – Work In Process).

Jenis – jenis Biaya Produksi

1. Biaya Bahan
Yang dimaksud dengan bahan adalah bahan yang digunakan  untuk membuat barang jadi. Biaya bahan merupakan nilai atau besarnya rupiah yang terkandung dalam bahan yang digunakan dalam proses produksi. Biaya bahan dibedakan menjadi:

A. Biaya Bahan Baku (Direct Material)
Biaya ini merupakan biaya yang secara langsung digunakan dalam proses produksi untuk membuat suatu produk atau barang jadi yang siap untuk dijual.

B. Biaya Bahan Penolong (Indirect Material)
Yang termasuk bahan penolong adalah bahan-bahan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu produk, tetapi pemakaiannya relative kecil, atau pemakaiannya sangat rumit untuk dikenali di produk jadi. Contoh : paku dan lem kayu dalam proses pembuatan meja.

2. Biaya Tenaga Kerja
A. Biaya Tenaga Kerja Langsung (BTKL)
Biaya ini merupakan biaya – biaya bagi para tenaga kerja langsung yang ditempatkan dan digunakan dalam menangani kegiatan-kegiatan proses pembuatan produk jadi secara langsung diterjunkan dalam kegiatan produksi yang menangani segala peralatan produksi dan usaha itu dapat terwujud.

B. Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung (BTKTL)
Merupakan biaya tenaga kerja bagian produksi yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pengerjaan bahan hingga menjadi produk jadi. Sebagai misal adalah gaji mandor, gaji karyawan keamanan yang menjaga kewamanan lokasi pabrik.

3. Biaya Overhead Pabrik
Merupakan biaya yang timbul dalam proses produksi selain yang termasuk dalam BBB & BTKL. Yang termasuk BOP adalah:

  • Biaya pemakaian supplies pabrik
  • Biaya pemakaian minyak pelumas
  • Biaya penyusutan bagian produksi
  • Biaya pemeliharaan / perawatan bagian produksi
  • Biaya listrik bagian produksi
  • Biaya asuransi
  • Biaya pengawasan

BOP sangat sulit sekali untuk ditelusur dalam hubungannya dengan produk, karena sifat dari biaya ini yang bukan biaya langsung dalam pembuatan produk.

TINGGINYA BIAYA PRODUKSI PADA SEKTOR INDUSTRI di INDONESIA
Dari pembahasan diatas dapat dikatakan bahwa biaya produksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menyelenggarakan kegiatan proses pembuatan produk jadi. Biaya produksi mempunyai peranan yang sangat penting bagi perusahaan yang ingin melakukan proses produksi. Manajemen perusahaan dituntut untuk membuat anggaran biaya produksi yang dapat menghasilkan laba yang diinginkan oleh perusahaan. Biaya produksi harus ditekan seminimal mungkin agar tidak terjadi pemborosan-pemborosan dalam melakukan kegiatan produksi. Namun saat ini biaya produksi untuk sector industri di Indonesia setiap tahunnya mengalami kenaikan, hal ini disebabkan karena adanya inflasi. Inflasi merupakan kenaikan harga-harga umum yang terjadi secara terus-menerus selama periode tertentu. Inflasi menunjukan kecenderungan naiknya harga-harga umum barang dan jasa yang berlangsung secara terus-menerus. Kenaikan harga tidak harus selalu dalam nilai atau persentasi yang sama. Kenaikan harga yang terjadi satu kali atau hanya bersifat sementara tidak dikategorikan sebagai inflasi.

Inflasi merupakan salah satu faktor utama tingginya biaya produksi untuk sektor industri di Indonesia. Faktor ini mempunyai dampak langsung terhadap harga-harga bahan baku untuk keperluan proses produksi di Indonesia. Jika inflasi terjadi, maka biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan akan meningkat dan hal ini akan menyebabkan pendapatan perusahaan akan berkurang karena berkurangnya penjualan yang diakibatkan naiknya harga barang yang dijual perusahaan. Dengan adanya inflasi maka akan berdampak luas bagi perekonomian suatu negara.

Masih banyak hal lain yang menjadi penyebab tingginya biaya produksi. Seperti faktor keamanan, ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi sector industry, banyaknya pungutan liar, dan masih banyak lagi.

Factor keamanan merupakan factor yang cukup berpengaruh terhadap tingginya biaya produksi. Kita tahu bahwa selama kegiatan produksi, perusahaan ingin menyelenggarakan kegiatan produksi dengan kondisi lingkungan yang aman. Maka perusahan akan mengeluarkan sejumlah biaya untuk keamanan ini. Biaya ini termasuk kedalam golongan biaya overhead pabrik (BOP).

Ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi sector industry masih terbilang minim menurut saya, sebab tidak ada tindakan nyata dari pemerintah untuk menjaga produk-produk dalam negeri. Pemerintah dianggap setengah-setengah dalam menetapkan kebijakan terhadap sektor industri, sehingga pemerintah masih belum mampu melindungi industri-industri di Indonesia. Industri UMKM pun pemerintah masih belum mengambil tindakan nyata sehingga produk-produk local kalah bersaing dengan produk impor. Ini yang menyebabkan sektor industri di Indonesia kurang bergairah.
Menurut data Kementerian Perindustrian, pertumbuhan industri pengolahan non-migas sempat menyentuh level tertinggi di 2011 sebesar 6,49%, kemudian melambat di tahun berikutnya.

Dari data tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah dianggap kurang serius dalam mengatasi masalah di bidang industri, terutama dalam hal tingginya biaya produksi. Pemerintah dianggap kurang mampu menjaga kestabilan harga-harga bahan baku untuk keperluan proses produksi. Ini yang menyebabkan produk lokal kalah bersaing dengan produk impor karena pemerintah kurang mampu melindungi industri dalam negeri dan produk impor yang harganya jauh lebih murah di banding produk lokal.

Juga ditambah masalah banyaknya pungutan – pungutan liar yang dilakukan aparatur baik pusat maupun serta proses birokrasi yang berbelit-belit menyebabkan para investor kurang berminat untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang lagi-lagi berdampak pada sektor industri di Indonesia.

Dari beberapa penyebab diatas lah yang menurut penulis menjadi penyebab tingginya biaya produksi di sektor industri di Indonesia.

Dibawah ini penulis sajikan artikel terkait dengan biaya produksi dari website resmi Kementerian Perindustrian.

Biaya Produksi dan Upah Tenaga Kerja Tinggi Picu Deindustrialisasi

JAKARTA - Industri manufaktur di Indonesia berpotensi mengalami deindustrialisasi seiring dengan tren penurunan pertumbuhan dalam lima tahun terakhir. Seiring dengan itu, kenaikan upah tenaga kerja mengakibatkan biaya produksi industri dalam negeri menjadi lebih tinggi dan tidak kompetitif dibanding negara lain.
"Tren penurunan industri nonmigas memicu deindustrialisasi di Indonesia, dimana gejala ini telah terlihat sejak empat hingga lima tahun yang lalu. Hal itu salah satunya dipicu oleh industri padat karya menjadi penyumbang deindustrialisasi terbesar di dalam negeri seiring dengan upah tenaga kerja saat ini yang cukup tinggi," kata Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada IFT.

Selain itu, dia juga menilai, biaya produksi tinggi mengakibatkan hasil produksi dalam negeri menjadi tidak kompetitif dan lebih mahal dibandingkan dengan produk impor. Sehingga pada akhirnya, banyak orang yang berpikir untuk mengambil langkah melakukan impor dibanding mendirikan pabrik.

"Biaya tidak kompetitif itu mengakibatkan banyak industri gulung tikar atau merelokasi usaha mereka. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga terjadi penurunan pertumbuhan industri. Saat ini, industri yang ada dan mampu berkembang di Tanah Air adalah industri padat modal dan berteknologi. Namun industri tersebut cenderung sedikit menyerap tenaga kerja," ujar dia.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sempat menyentuh level tertinggi pada 2011 sebesar 6,49%, kemudian melambat pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2012, industri pengolahan non-migas tumbuh 6,42%, lalu turun menjadi 6,1% di 2013 dan 5,34% pada 2014.

Penurunan pertumbuhan industri ini berpengaruh pada penurunan daya saing industri sebagai ancaman utama deindustrialisasi di Indonesia. Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2014-2015 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah negara-negara ekonomi utama di Asean.

Data WEF menempatkan Indonesia di peringkat 35 dari 144 negara yang disurvei. Meskipun peringkat tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, daya saing Indonesia masih berada di bawah Thailand yang berada di peringkat 31, Malaysia di peringkat 20, dan Singapura yang ada diperingkat 2.

Meski demikian, menurut Haryadi, deindustrialisasi tidak perlu dikhawatirkan bila melihat komitmen investasi dan pembangunan industri saat ini. Pasalnya kini banyak pelaku usaha yang membeli lahan di kawasan industri, meski untuk realisasinya masih membutuhkan waktu.

Dengan begitu, dia berharap, tren pembelian lahan dan pembangunan industri itu terealisasi, maka ke depan akan ada titik balik untuk pertumbuhan industri. Meski untuk mencapai titik balik pertumbuhan industri tersebut juga bergantung pada kebijakan pemerintah seperti dari segi upah tenaga kerja dan pemerataan pembangunan infrastruktur, seperti listrik di seluruh wilayah Indonesia, agar investasi tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Harjanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, membenarkan mengenai adanya kecenderungan penunan pertumbuhan industri sejak 2012. Penurunan pertumbuhan industri, kata Harjanto, seiring dengan dengan penurunan ekspor dan impor.

Kendati demikian, sepanjang tahun ini Kementerian Perindustrian menargetkan industri non-migas bisa kembali tumbuh di kisaran 6,8% atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi.

Sementara untuk meningkatkan daya saing, pemerintah berupaya mendorong industri untuk bisa memenuhi indeks standar daya saing yang mencakup masalah energi, mendorong efisiensi dan sebagainya.

Dari artikel diatas penulis berkesimpulan bahwa industri manufaktur di Indonesia berpotensi mengalami deindustrialisasi atau kemunduran industri seiring dengan tren penurunan pertumbuhan. Dari artikel diatas menunjukan Tren penurunan industri terutama sektor nonmigas memicu deindustrialisasi di Indonesia, dimana gejala ini telah terlihat sejak empat hingga lima tahun yang lalu. Hal itu salah satunya dipicu oleh industri padat karya menjadi penyumbang deindustrialisasi terbesar di dalam negeri seiring dengan upah tenaga kerja saat ini yang cukup tinggi.

Selain itu biaya produksi yang tinggi mengakibatkan hasil produksi dalam negeri menjadi tidak kompetitif dan lebih mahal dibandingkan dengan produk impor.

Dari permasalahan diatas penulis mencoba memberikan beberapa solusi yaitu:

Dari sektor keamanan, pemerintah harus memberikan perlindungan keamanan yang pasti untuk melindungi para pelaku industri, terutama industri kecil termasuk UMKM harus terlindungi dari pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab. Peran pemerintah mewakili aparat kepolisian harus bisa menciptakan suasana lingkungan yang aman dan nyaman agar keselamatan masyarakat bisa terjaga dan para pelaku industri bisa melakukan usahanya dengan baik.

Pemerintah harus bisa membuat kebijakan yang tidak merugikan bagi para pelaku industri.  Pemerintah harus bisa menjaga kestabilan harga-harga agar tidak terjadi gejolak ekonomi. Perlu adanya reformasi birokrasi agar para investor tertarik menanamkan modalnya di Indonesia.

Menindak tegas kepada oknum yang melakukan pungutan liar terkait masalah perizinan.

Sumber:
Daljono (2001). Akuntansi Biaya. Edisi 3. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Kementerian Perindustrian RI www.kemenperin.go.id